Sabtu, 05 Juni 2010
Batik merupakan kerajinan yang memiliki nilai seni yang sangat tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Batik berasal dari bahasa Jawa ‘amba’ yang berarti menulis dan ‘titik’.
Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan ‘malam’ (wax) yang diaplikasikan ke atas kain. Memang titik merupakan desain dominan pada batik. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian sehingga di pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan.
Batik juga diidentikkan dengan kecantikan wanita mengingat dalam masa kerajaan di Jawa kecantikan wanita juga diukur dengan kepandaian dalam membuat batik dengan menggunakan canting. Canting merupakan salah satu alat untuk menulis pada kain batik dengan menggunakan lilin. Hingga ditemukannya ‘batik cap’ yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini.
Sebenarnya, batik di Indonesia telah dikenal sejak jaman Kerajaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Pada awal perkembangannya, kira-kira sekitar abad ke-XVIII atau awal abad ke-XX masih berupa batik tulis, sedangkan batik cap baru diperkenalkan setelah perang dunia pertama atau awal tahun 1920.
Awalnya, batik dikerjakan hanya terbatas dalam keraton dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Bahkan, motif batik bisa menunjukkan status seseorang. Seperti kalangan keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta yang masing-masing hanya mengenakan motif tertentu hingga kini.
Semakin meluasnya batik dipengaruhi oleh pengikut raja yang tinggal di luar keraton sehingga turut mempopulerkan batik di luar keraton. Lama kelamaan kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk megisi waktu senggang. Batik yang tadinya hanya pakaian keluarga keraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari baik pria maupun wanita.
Pada masa itu, bahkan kain putih yang dipergunakan waktu itu merupakan hasil tenun sendiri. Sedangkan bahan-bahan pewarna yang dipakai terdiri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri. Diantaranya pohon mengkudu, tinggi, soga, nila dan bahan sodanya terbuat dari soda abu serta garamnya dari tanah lumpur.
Setiap motif yang dituangkan dalam kain, memiliki filosofi tentang makna kehidupan, kejadian, sampai pada pengalaman-pengalaman hidup dari tokoh-tokoh atau tradisi keluarha. Pembatik tidak boleh sembarangan dan lancang untuk mengartikannya dan menuangkan inspirasinya begitu saja di atas kain.
Sebelum menerjemahkannya dalam bentuk tulisan tangan, pembuat terlebih melakukan ritual-ritual seperti berpuasa dan membaca mantera. Hingga batik (baju batik) usai dibuat, pembuat juga harus melaksanakan ritual penutup.
Padahal batik sebenarnya mengandung nilai sejarah yang sangat tinggi. Motif batik Parang Rusak misalnya, sebenarnya termasuk motif batik sakral yang hanya dipergunakan di lingkungan keraton. Demikian juga warna batik pada motif parang bisa menentukan asal keraton pemakainya, apakah Keraton Solo atau dari Keraton Jogja.
Sumber : Koran Seputar Indonesia, Oktober 2009